Potensi sebesar 1,6 juta ton bioetanol dari 50 juta ton limbah sawit di Indonesia hingga kini belum tergarap maksimal. Angka ini didapat dari estimasi luas kebun kelapa sawit di Indonesia saat ini.
Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mencapai target energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23% dari bauran energi nasional pada 2025.
Hingga akhir 2024, realisasi EBT baru mencapai 14,1%. Untuk mengejar ketertinggalan ini, pemanfaatan biomassa lignoselulosa dari limbah kelapa sawit dinilai sebagai solusi potensial, kata Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Kimia, Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material BRIN, Roni Maryana.
Dalam orasinya berjudul; Inovasi Teknologi Konversi Biomassa Lignoselulosa Sebagai Sumber Energi Terbarukan dan Bahan Kimia Berkelanjutan, Roni menekankan pentingnya kemandirian energi dan pengurangan impor bahan kimia yang masih menelan biaya ratusan juta dolar per tahun.
“Dengan memanfaatkan biomassa lokal, kita bisa mengurangi ketergantungan impor dan mendorong industri hijau yang berkelanjutan,” ujarnya.
Potensi Besar dari Limbah Perkebunan
Roni menjelaskan, Indonesia memiliki potensi biomassa yang sangat besar, terutama dari limbah tandan kosong kelapa sawit (TKKS).
Biomassa ini bisa dikonversi menjadi bioetanol generasi kedua (G2) yang tidak bersaing dengan bahan pangan.
“Dengan luas perkebunan sawit saat ini, Indonesia menghasilkan sekitar 50 juta ton limbah sawit setiap tahun. Jumlah ini berpotensi menghasilkan lebih dari 1,6 juta ton bioetanol,” jelas Roni.
Namun, menurutnya, bioetanol G2 belum dikomersialisasikan secara luas di Indonesia.
Padahal, integrasi antara bioetanol G1 dan G2 dari tebu dan kelapa sawit sangat mungkin dilakukan dan dapat mendukung kebijakan energi nasional, termasuk Perpres No. 40 Tahun 2023 tentang percepatan penyediaan bioetanol.
Sebagai bagian dari risetnya, Roni dan tim BRIN mengembangkan dua jenis teknologi reaktor untuk meningkatkan efisiensi konversi biomassa.
Pertama, reaktor delignifikasi portabel skala laboratorium untuk eksperimen paralel; Kedua, Screw Continuous Reactor (SCR) skala pilot yang mampu memproses biomassa secara terus menerus dengan efisiensi tinggi dan lebih ramah lingkungan.
“Inovasi ini mendukung transisi energi bersih dan pengembangan ekonomi sirkular. Dari laboratorium hingga ladang sawit, konversi biomassa jadi harapan baru menuju Indonesia mandiri energi,” tutup Roni.
Roni Maryana merupakan Profesor Riset ke-693 secara nasional dan ke-70 di BRIN. Ia meraih gelar doktor di bidang bioresource engineering dari University of Tsukuba, Jepang, pada 2017 dan telah memegang 15 paten di bidang teknologi biomassa.***