Konsumen “Ngerem” Belanja Meski Transaksi Naik — Tren Belanja Online 2025 Survei Jakpat

Tren belanja online di Indonesia pada paruh pertama 2025 menunjukkan perubahan signifikan.

Konsumen kini lebih fokus pada kebutuhan pokok dan mulai mengurangi belanja produk sekunder seperti fesyen dan elektronik.

Hal ini tercermin dalam survei terbaru yang dirilis Jakpat, yang melibatkan 2.283 responden dari kalangan Gen Z, Milenial, hingga Gen X.

Jakpat mencatat bahwa 95% responden melakukan transaksi online selama semester I 2025, meningkat 4% dibandingkan tahun lalu.

Sebanyak 88% responden berbelanja melalui platform e-commerce, sementara 17% memilih platform quick-commerce untuk memenuhi kebutuhan harian mereka.

Jumlah Transaksi Naik, Pengeluaran Rata-rata Turun

Meski jumlah pembeli online meningkat, pengeluaran rata-rata per orang justru menurun.

Data menunjukkan bahwa rata-rata belanja bulanan melalui e-commerce turun 13% menjadi Rp470.516 dari Rp543.250 pada semester pertama 2024.

“Nilai transaksi per orang cenderung mengecil, terutama untuk produk sekunder seperti fashion dan elektronik,” kata Head of Research Jakpat, Aska Primardi, dalam keterangan tertulis.

Shopee masih menjadi platform e-commerce paling dominan, dengan peningkatan pengguna dari 79% menjadi 84%.

Konsumen “Ngerem” Belanja Meski Transaksi Naik — Tren Belanja Online 2025 Survei Jakpat
Sumber data: Jekpat.

TikTok Shop menyusul di posisi kedua, naik dari 40% menjadi 46% dalam setahun terakhir.

Sebaliknya, pengeluaran melalui quick-commerce justru melonjak 36%, dari Rp215.816 menjadi Rp293.922. Platform seperti Alfagift mencatat lonjakan signifikan, dari 31% ke 66%.

Sedangkan Klik Indomaret dan GrabMart juga mengalami pertumbuhan masing-masing sebesar 17% dan 16%.

Quick-commerce memang lebih sering digunakan untuk pembelian kebutuhan harian seperti makanan, minuman, dan barang rumah tangga. Frekuensinya tinggi, tapi nominal per transaksi relatif kecil,” ujar Aska.

Dia menilai bahwa tren ini mencerminkan sikap konsumen yang lebih berhati-hati dalam mengelola keuangan. Mereka lebih memprioritaskan belanja kebutuhan pokok dan menekan pengeluaran untuk produk non-prioritas.

“Jika pun membeli produk sekunder, konsumen akan mencari harga yang paling terjangkau. Saat ini, produk impor lebih diminati karena harganya lebih murah dibandingkan produk lokal,” jelasnya.

Kondisi ini, menurut Aska, menjadi tantangan serius bagi pelaku UMKM lokal. Daya saing mereka dari sisi harga semakin tertekan di tengah melemahnya daya beli masyarakat.***